Dulu aku begitu rindu dengan pantai. Tapi entah mengapa saat ini pantai begitu mengerikan. Dulu aku begitu rindu dengan indahnya senja. Tapi sekarang mengapa senja tak lagi indah bagiku. Dulu aku begitu rindu ketika malam tiba. Tapi sekarang entah mengapa malam terasa begitu mengerikan. Hari-hari pun banyak diwarnai kecemasan dan ketakutan.
Sejak malam itu, Minggu 05 Agustus 2018.
Malam selalu terasa lebih panjang dibanding biasanya. Malam itu aku tengah bersantai di kamar sambil mendengarkan beberapa lagu. Rasa kantuk kala itu pun mulai menyerang. Namun keinginan untuk tidur masih belum ada. Meskipun pada pagi hingga siang harinya badan sudah terasa letih karena telah melakukan berbagai aktifitas. Pagi ikut kegiatan inspiratif dari kantor, dan siangnya lanjut kegiatan masak dan cuci-cuci.
Tidak ada firasat akan terjadi bencana besar. Tapi alam memang selalu menunjukkan tanda- tanda yang memang diluar nalar manusia. Pagi itu udara terasa begitu dingin menusuk tulang. Langit mendung namun tidak begitu pasti akan turun hujan. Kondisi cuaca saat itu menjadi pertanda bagi tubuh agar beradaptasi. Namun tubuh seperti tidak bisa menyesuaikan suhunya. Akupun berpikir sepertinya akan terserang penyakit. Entah itu demam, meriang atau pilek. Tapi ternyata tubuh pun bisa menjadi sensor atau peringatan bahwa malam itu akan terjadi bencana besar.
Tidak terlalu pasti pukul berapa kejadian kala itu. Yang aku ingat waktu itu adalah tepat masuknya waktu shalat isya. Ketika azan berkumandang akupun masih sibuk dengan gadget di tangan. Saat tengah asyik menikmati beberapa lagu lalu setelahnya bersiap untuk shalat isya. Suara gemuruh tiba-tiba terdengar. Jendela kaca bergetar, bumi bergoncang dan pintu-pintu berderit. Sontak, dengan sigap akupun berlari keluar kamar tanpa perduli dengan kondisi sekitar. Tanpa alas kaki dan masih mengenakan peralatan shalat. Akupun bergegas menyelamatkan diri berlari keluar dengan cepat. Namun goncangan demi goncangan terus saja datang. Rasanya dunia seperti akan kiamat. Suasana riuh. Orang-orang berlari ketakutan. Semua berteriak gempa.. gempa..
Sembari melantunkan ayat-ayat suci alqur'an. Aku pun melanjutkan upaya penyelamatan diri. Tapi semua terasa begitu cepat. Dalam waktu sepersekian detik semua sudah luluh lantak. Rumah- rumah roboh, korban jiwa berjatuhan bahkan banyak yang mengalami luka-luka. Malam yang begitu mencekam dan terasa mengerikan. Listrik padam bahkan sinyal handphone pun tidak ada. Semua emergency. Kepanikan terjadi dimana-dimana. Semua orang sibuk dengan upaya penyelamatan diri dan keluarga masing-masing. Sebagian orang mengamati gadget masing-masing, guna mencari informasi terkait gempa yang terjadi. Menurut BMKG gempa yang baru saja terjadi berkekuatan 7.0 SR bahkan berpotensi terjadinya tsunami. Isu tsunami ini pun membuat suasana semakin riuh. Lantunan ayat suci alqur'an mulai terdengar dimana-mana. Semua orang semakin ketakutan.
Aku yang masih dalam kondisi panik. Secara tiba-tiba menangis. Entah darimana air mata itu mengalir deras. Terasa mendapatkan kiamat kecil kala itu. Maut terasa begitu dekat. Satu- satunya harta paling berharga buatku saat itu adalah handphone. Selain itu hanya tinggal kepasrahan saja. Dengan tubuh masih gemetar, aku memencet tombol di hp dengan niat ingin menghubungi dan mengetahui bagaimana kondisi keluarga dirumah. Karena yang terlintas di kepala saat itu adalah keluarga terutama ibu. Tapi ternyata sinyal tidak mendukung. Berkali-kali menghubungi tetap saja tidak bisa. Hal inilah yang semakin menambah kepanikan. Keluarga tidak bisa menghubungiku, akupun juga tidak bisa menghubungi mereka. Disitulah timbul keinginan untuk pulang. Tapi kondisi tidak memungkinkan. Karena situasi panik. Jadi banyak orang yang saling berebutan dijalan raya untuk bisa segera sampai ke tujuan masing2. Aku kesampingkan keinginan untuk pulang. Sambil terus mencoba untuk menghubungi keluarga dengan harapan mereka semua baik2 saja.
Baterai hp tinggal beberapa persen saja. Tidak ada yang berhasil aku hubungi. Perasaan sedih semakin kuat. Air mata terus mengalir deras. Satu-satunya orang yang menghubungi aku kala itu adalah dia. Dia yang selalu mengkhawatirkanku meskipun aku jarang mengkhawatirkannya. Bersyukurlah ada dia. Aku tidak lagi merasa menjadi orang asing. Ada secercah harapan dan semangat yang menguatkan ditengah kepanikan. Namun sayang baterai hp tidak lagi mendukung. Hp mati total.
Waktu itu yang menemani hanya beberapa anak kos yang memang masih stay di Mataram. Kami secara bersama-sama berusaha saling menghibur dan menguatkan. Tidak ada yang menyangka gempa bumi sebesar itu terjadi di Lombok tercinta ini. Ada yang masih segar di ingatan juga waktu itu. Salah satu anak kos menangis terisak mengetahui kabar keluarganya terdampak gempa cukup parah. Rumah roboh dan keluarga diliputi ketakutan. Gempa susulan masih terus terjadi kala itu. Akupun terenyuh melihat kondisinya. Tapi bersyukur juga. Karena dia bisa mengetahui kabar keluarganya yang Alhamdulillah ternyata baik- baik saja. Nah. Aku sendiri.. tidak tau apa2 tentang keluargaku.
Aku hanya bisa pasrah menerima segala ketentuan Allah SWT. Maut terasa begitu dekat. Aku terus berzikir dan memohon agar bencana kala itu segera berlalu. Tapi ternyata semua belum usai. Setelah gempa utama. Masih terjadi gempa susulan dengan skala yang lumayan besar. Rencananya malam itu. Aku dan semua anak kos tidur diluar sambil menunggu suasana cukup kondusif. Sembari menunggu dengan harap2 cemas. Aku memberanikan diri masuk lagi ke kamar kos. Guna mencari barang berharga yang masih bisa diselamatkan. Waktu masuk kamar. Yang tertuju paling pertama oleh mata adalah alqur'an dan peralatan shalat. Kedua benda ini seperti penyelamat bagiku saat itu. Berharap pertolongan Allah SWT agar bencana segera berlalu. Kemudian tas selempang yang biasa menjadi andalan kemana2. Ketiga barang itupun aku bawa keluar.
Setelah cukup lama menunggu suasana kondusif. Secercah harapan itupun datang. Sekitar pukul 23.00 WITA. Kakak menjemputku ke Mataram untuk diajak pulang. Lega rasanya karena bisa mengetahui kondisi keluarga yang baik2 saja. Tapi saat itu ada perasaan mengganjal dihati. Ada seseorang yang masih aku pikirkan keberadaannya. Khawatir dengan keadaannya. Apakah dia masih baik2 saja setelah menelponku tadi. Gumamku waktu itu. Aku berharap bisa bertemu dengannya saat itu juga. Namun sayang. Komunikasi kami terputus sejak hape mati total.
Sebelum pulang malam itu. Ternyata dia datang mencariku. Meski pertemuan terjadi begitu singkat. Tapi aku bersyukur karena melihat dia baik2 saja. Setelah pertemuan singkat itu, akupun bergegas pulang dalam kondisi masih diliputi perasaan cemas dan takut.
Suasana jalanan begitu lengang. Maklum sudah pukul 23. 00 lebih. Sepanjang jalan yang terlihat hanya para pengungsi yang memanfaatkan trotoar untuk mendirikan tenda dan menyulapnya menjadi tempat tidur darurat. Udara begitu dingin. Hanya dengan jaket tipis membalut kulit. Menyusuri sepanjang jalan dari Mataram menuju lombok tengah. Dalam pikiran masih terbayang gempa besar itu. Cukup menjadi ajang uji adrenalin dan shock terapy. Benar-benar tidak terlupakan.
Sejak malam itu, Minggu 05 Agustus 2018.
Malam selalu terasa lebih panjang dibanding biasanya. Malam itu aku tengah bersantai di kamar sambil mendengarkan beberapa lagu. Rasa kantuk kala itu pun mulai menyerang. Namun keinginan untuk tidur masih belum ada. Meskipun pada pagi hingga siang harinya badan sudah terasa letih karena telah melakukan berbagai aktifitas. Pagi ikut kegiatan inspiratif dari kantor, dan siangnya lanjut kegiatan masak dan cuci-cuci.
Tidak ada firasat akan terjadi bencana besar. Tapi alam memang selalu menunjukkan tanda- tanda yang memang diluar nalar manusia. Pagi itu udara terasa begitu dingin menusuk tulang. Langit mendung namun tidak begitu pasti akan turun hujan. Kondisi cuaca saat itu menjadi pertanda bagi tubuh agar beradaptasi. Namun tubuh seperti tidak bisa menyesuaikan suhunya. Akupun berpikir sepertinya akan terserang penyakit. Entah itu demam, meriang atau pilek. Tapi ternyata tubuh pun bisa menjadi sensor atau peringatan bahwa malam itu akan terjadi bencana besar.
Tidak terlalu pasti pukul berapa kejadian kala itu. Yang aku ingat waktu itu adalah tepat masuknya waktu shalat isya. Ketika azan berkumandang akupun masih sibuk dengan gadget di tangan. Saat tengah asyik menikmati beberapa lagu lalu setelahnya bersiap untuk shalat isya. Suara gemuruh tiba-tiba terdengar. Jendela kaca bergetar, bumi bergoncang dan pintu-pintu berderit. Sontak, dengan sigap akupun berlari keluar kamar tanpa perduli dengan kondisi sekitar. Tanpa alas kaki dan masih mengenakan peralatan shalat. Akupun bergegas menyelamatkan diri berlari keluar dengan cepat. Namun goncangan demi goncangan terus saja datang. Rasanya dunia seperti akan kiamat. Suasana riuh. Orang-orang berlari ketakutan. Semua berteriak gempa.. gempa..
Sembari melantunkan ayat-ayat suci alqur'an. Aku pun melanjutkan upaya penyelamatan diri. Tapi semua terasa begitu cepat. Dalam waktu sepersekian detik semua sudah luluh lantak. Rumah- rumah roboh, korban jiwa berjatuhan bahkan banyak yang mengalami luka-luka. Malam yang begitu mencekam dan terasa mengerikan. Listrik padam bahkan sinyal handphone pun tidak ada. Semua emergency. Kepanikan terjadi dimana-dimana. Semua orang sibuk dengan upaya penyelamatan diri dan keluarga masing-masing. Sebagian orang mengamati gadget masing-masing, guna mencari informasi terkait gempa yang terjadi. Menurut BMKG gempa yang baru saja terjadi berkekuatan 7.0 SR bahkan berpotensi terjadinya tsunami. Isu tsunami ini pun membuat suasana semakin riuh. Lantunan ayat suci alqur'an mulai terdengar dimana-mana. Semua orang semakin ketakutan.
Aku yang masih dalam kondisi panik. Secara tiba-tiba menangis. Entah darimana air mata itu mengalir deras. Terasa mendapatkan kiamat kecil kala itu. Maut terasa begitu dekat. Satu- satunya harta paling berharga buatku saat itu adalah handphone. Selain itu hanya tinggal kepasrahan saja. Dengan tubuh masih gemetar, aku memencet tombol di hp dengan niat ingin menghubungi dan mengetahui bagaimana kondisi keluarga dirumah. Karena yang terlintas di kepala saat itu adalah keluarga terutama ibu. Tapi ternyata sinyal tidak mendukung. Berkali-kali menghubungi tetap saja tidak bisa. Hal inilah yang semakin menambah kepanikan. Keluarga tidak bisa menghubungiku, akupun juga tidak bisa menghubungi mereka. Disitulah timbul keinginan untuk pulang. Tapi kondisi tidak memungkinkan. Karena situasi panik. Jadi banyak orang yang saling berebutan dijalan raya untuk bisa segera sampai ke tujuan masing2. Aku kesampingkan keinginan untuk pulang. Sambil terus mencoba untuk menghubungi keluarga dengan harapan mereka semua baik2 saja.
Baterai hp tinggal beberapa persen saja. Tidak ada yang berhasil aku hubungi. Perasaan sedih semakin kuat. Air mata terus mengalir deras. Satu-satunya orang yang menghubungi aku kala itu adalah dia. Dia yang selalu mengkhawatirkanku meskipun aku jarang mengkhawatirkannya. Bersyukurlah ada dia. Aku tidak lagi merasa menjadi orang asing. Ada secercah harapan dan semangat yang menguatkan ditengah kepanikan. Namun sayang baterai hp tidak lagi mendukung. Hp mati total.
Waktu itu yang menemani hanya beberapa anak kos yang memang masih stay di Mataram. Kami secara bersama-sama berusaha saling menghibur dan menguatkan. Tidak ada yang menyangka gempa bumi sebesar itu terjadi di Lombok tercinta ini. Ada yang masih segar di ingatan juga waktu itu. Salah satu anak kos menangis terisak mengetahui kabar keluarganya terdampak gempa cukup parah. Rumah roboh dan keluarga diliputi ketakutan. Gempa susulan masih terus terjadi kala itu. Akupun terenyuh melihat kondisinya. Tapi bersyukur juga. Karena dia bisa mengetahui kabar keluarganya yang Alhamdulillah ternyata baik- baik saja. Nah. Aku sendiri.. tidak tau apa2 tentang keluargaku.
Aku hanya bisa pasrah menerima segala ketentuan Allah SWT. Maut terasa begitu dekat. Aku terus berzikir dan memohon agar bencana kala itu segera berlalu. Tapi ternyata semua belum usai. Setelah gempa utama. Masih terjadi gempa susulan dengan skala yang lumayan besar. Rencananya malam itu. Aku dan semua anak kos tidur diluar sambil menunggu suasana cukup kondusif. Sembari menunggu dengan harap2 cemas. Aku memberanikan diri masuk lagi ke kamar kos. Guna mencari barang berharga yang masih bisa diselamatkan. Waktu masuk kamar. Yang tertuju paling pertama oleh mata adalah alqur'an dan peralatan shalat. Kedua benda ini seperti penyelamat bagiku saat itu. Berharap pertolongan Allah SWT agar bencana segera berlalu. Kemudian tas selempang yang biasa menjadi andalan kemana2. Ketiga barang itupun aku bawa keluar.
Setelah cukup lama menunggu suasana kondusif. Secercah harapan itupun datang. Sekitar pukul 23.00 WITA. Kakak menjemputku ke Mataram untuk diajak pulang. Lega rasanya karena bisa mengetahui kondisi keluarga yang baik2 saja. Tapi saat itu ada perasaan mengganjal dihati. Ada seseorang yang masih aku pikirkan keberadaannya. Khawatir dengan keadaannya. Apakah dia masih baik2 saja setelah menelponku tadi. Gumamku waktu itu. Aku berharap bisa bertemu dengannya saat itu juga. Namun sayang. Komunikasi kami terputus sejak hape mati total.
Sebelum pulang malam itu. Ternyata dia datang mencariku. Meski pertemuan terjadi begitu singkat. Tapi aku bersyukur karena melihat dia baik2 saja. Setelah pertemuan singkat itu, akupun bergegas pulang dalam kondisi masih diliputi perasaan cemas dan takut.
Suasana jalanan begitu lengang. Maklum sudah pukul 23. 00 lebih. Sepanjang jalan yang terlihat hanya para pengungsi yang memanfaatkan trotoar untuk mendirikan tenda dan menyulapnya menjadi tempat tidur darurat. Udara begitu dingin. Hanya dengan jaket tipis membalut kulit. Menyusuri sepanjang jalan dari Mataram menuju lombok tengah. Dalam pikiran masih terbayang gempa besar itu. Cukup menjadi ajang uji adrenalin dan shock terapy. Benar-benar tidak terlupakan.
Komentar
Posting Komentar